ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#12]

: March 15, 2019


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 
BAB I PENDIDIKAN [#12]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka


: Sistem Paguron


Konsep pendidikan KHD selalu mengedepankan jati diri bangsa. Hal ini terlihat dari pemilihan istilah dan konsep gagasannya. Beliau lebih memilih menggunakan istilah perguruan daripada sekolah. Istilah perguruan berasal dari bahasa Jawa paguron, dengan kata dasar: guru. Arti harfiah dari perguruan ialah: _tempat di mana guru tinggal. 

Pasangan dari istilah Paguron (Perguruan) ialah Meguru (Berguru). Perguruan mengacu pada tempat, sedang berguru mengacu pada aktivitas pelaku. Perguruan juga bisa dilekatkan dengan pengertian: pusatnya studi. Dalam sistem paguron, pribadi guru menjadi unsur yang terkemuka. Berkaitan dengan haluan dan ajaran yg dianut.

Model pendidikan Taman Siswa memakai tiga arti dari istilah paguron. Yaitu menghendaki pusat studi, dengan haluan yg lebih dulu ditentukan, dan sekaligus juga rumah guru.

Sistem paguron ini sebenarnya sudah ada sejak zaman kuno, yang menjadi ciri khas pengajaran di wilayah Asia kuno, Indonesia kuno, ataupun Jawa kuno. Menurut sistem ini, perguruan itu harus pula menjadi rumahnya guru. Itulah tempat tinggal yg pasti; rumah itu diperuntuki nama guru, atau lebih baik dikatakan: orang menyebut pondoknya itu menurut namanya. Sehingga ada pola hubungan: dari dekat dan jauh datanglah murid kepadanya; bukan dia yg pergi ke murid. Ia bukan sumber berjalan, tempat umum mengambil air. Seluruh suasana paguron itu diliputi oleh semangat pribadinya.

Inilah yg membedakan dg sistem pendidikan sekolah ala barat. Gedung sekolah yg tak nampak kepribadiannya. Di waktu pagi diisi dg anak-anak belajar dan bermain-main, dengan sejumlah guru yg jalan kian kemari atau duduk, sedangkan ketika menunjukan jam siang ditutup sama sekali dan tidak ditinggali. Kalau dirasa, ada persamaan antara rumah sekolah ala barat (masa itu) dengan sebuah kantor, toko, pabrik, stasiun, atau sebuah warung, karena gedung-gedung semacam itu yg tidak didiami.

Amatlah berbeda dengan sistem "rumah sekolah" Taman Siswa yg digagas KHD. Di mana gerombolan murid-murid di waktu pagi, siang, dan petang berturut sibuk dengan pelajarannya, dg olahraga atau seni, di bawah pimpinan guru-gurunya, semuanya tinggal dengan keluarganya. Kita mungkin membayangkan bahwa pendidikan KHD ini ada sedikit mirip dg fullday school. Tentu jelas berbeda, KHD menekankan pada ajaran tentang penghidupan dan kehidupan. Bukan doping tentang aktivitas buku teks. Melainkan pada aktivitas wiraga, wirasa, dan wirama. Buku yg dikaji tidaklah kitab garingan (buku tulis), melainkan kitab telesan (semua tindak-tanduk, tutur kata, dan pribadi gurunya).

Siswa diajari banyak hal, mulai urusan domestik, sosial, religi, ekonomi, seni, budaya, kesehatan, dan berorganisasi. Ada kalanya siswa memasak, bersih-bersih, membuat pertunjukan, dan saling mengajari. KHD menekankan pada kemandirian. Murid Taman Siswa lebih kurang seperti murid dari lain-lain sekolah, bedanya yaitu bahwa mereka berbuat itu bersama-sama dengan kita, pemimpin-pemimpin mereka, sekalipun kita tinggal di belakang mereka, sebagai penasihat dan pemimpin-pemimpin yg berdiri di belakang barisan (tut wuri andayani = mengikuti di belakang dg wibawa). Menurut KHD rasa persatuan dan kekeluargaan antara murid dan guru inilah yg jadi pembeda dg konsep pendidikan barat.

Bila kita kaitkan dg situasi saat ini, nampaknya sistem paguron bisa menjadi alternatif dalam menjawab permasalahan degradasi. Sistem ini memiliki role model, tokoh yg bisa dijadikan teladan dan konsep kekeluargaan yg guyub, bisa menjadi iklim baik bagi pertumbuhan jiwa dan raga anak. Konsep fullday school dan gerakan ayo mondok barangkali terinspirasi dari pemikiran-pemikiran KHD. Mungkin. Wallahua'lam.



15 Maret 2019