ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#19]

: March 22, 2019


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 
BAB II POLITIK PENDIDIKAN [#19]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka


: Bahasa Agitasi


Ada perasaan merinding ketika membaca dua artikel KHD pada bab ini. Getaran-getaran aneh di dalam dada serasa menjalar ke ubun-ubun, menyebar ke telinga dan kulit leher. Memacu adrenalin. Serasa ada semangat yang menggebu-gebu.

Diksi pada judul Protes P.G.H.B.* atau Hancurnya Sistim H.I.S. Kolonial dan Bertumbuhnya Perguruan Nasional di Atas Kubur Westerch-Koloniaal Schoolsysteem mengadung nada agitatif. KHD mahir dalam pemilihan diksi di tiap-tiap tulisannya. Judul yang memunculkan kesan semangat dan tanpa kompromi secara tidak langsung akan menggerakkan batin pembacanya. Ciri khas dari bahasa agitasi, yang mampu membangkitkan perhatian dan mendorong pembaca untuk melakukan suatu sikap.

Artikel tersebut ditulis pada tahun 1931--1933. Merupakan bentuk sikap politik KHD terhadap pendidikan kolonial. Pada artikel tersebut KHD menuliskan tuntutan-tuntutan terhadap sistem pendidikan Belanda, dan tawaran alternatif tentang sistem pendidikan nasional. Bahasa agitatif dan propaganda sengaja dipilih oleh KHD karena memiliki daya persuasif yang kuat. Perhatikan kutipan dari artikel KHD berikut:

"Saudara-saudara se-ibu Indonesia, sebangsa, serakyat! Ingatlah, bahwa kamu kaum terpelajar wajib menuntun rakyat dan membela kepentingan rakyat; jangan membela kepentingan klas atau stand atau kepentingan diri saja (buat ksatrya charam) ."

Sekilas membaca kutipan tersebut terasa sekali energi yang meluap-luap. Sebuah seruan yang berupaya membangkitkan kesadaran. Pilihan diksi cadas sengaja dipilih KHD untuk mendatangkan mobilitas massa. Sebuah perjuangan politik akan sulit tercapai bila tidak mampu menggerakkan massa. Di akhir artikelnya KHD menyerukan:

"Datanglah kepada rakyatmu, yang sungguh menanti kedatanganmu karena membutuhkan pertolonganmu!"

KHD juga memberikan penjelasan terkait konsep tawaran pendidikannya dengan sebuah semboyan: 
Tiap-tiap rumah jadi Perguruan! 

Tiap-tiap orang jadi Pengajar! 

Dengan atau tanpa Ordonansi! 
Semboyan tersebut disampaikan pada mobilisasi intelektuil nasional menuju pelaksanaan wajib belajar. Dalam komunikasi politik, bahasa tersebut berpotensi sebagai propaganda, sebuah rencana sistematis gerakan bersama untuk penyebar luasan suatu keyakinan.

Penggunaan bahasa agitasi dan propaganda seringkali dipakai pada saat situasi politik menguat. Tujuannya adalah meningkatkan atensi untuk melakukan suatu perubahan. Agitasi dan propaganda pada tulisan KHD bertujuan sebagai upaya penyadaran dan persatuan nasional demi terwujudnya kedaulatan. Menurut KHD kita tidak boleh terus-terusan hidup cemanthel, kalau hilang cantelannya tentu rebahlah semua yang cemanthel dan tidak bisa berjalan, karena tidak biasa berjalan dengan kaki sendiri.

Terlepas dari zaman KHD, bila kita amati, akhir-akhir ini menjelang pemilu depan banyak bermunculan bahasa-bahasa agitasi dan propaganda partai. Tujuannya yakni untuk mencari dukungan atau perhatian agar masyarakat memilih partainya. Terkadang kita harus mewaspadai akrobat-akrobat bahasa kontroversial. Kita harus kritis dan tetap berkepala dingin dalam menyikapinya.

Semisal dalam beberapa hari terakhir, UN menjadi pembahasan hangat di media. Isu seputar UN dijadikan sebagai tawaran politik untuk menggaet massa menjelang pemilu. Menurut saya, isu UN menjadi strategi politik yang merangsang masyarakat untuk ikut berpikir dalam menentukan pilihan politik. 

Saya sebagai alumni yang dihasilkan dari sistem UN, merasa bahagia ketika mendengar evaluasi UN. UN memang bukan menjadi ukuran kelulusan. Saya sepakat dengan itu. Pemutakhiran digitalisasi sistem UN diharapkan mampu mengurangi permasalahan ujian kertas, dan bisa memangkas anggaran biaya pemerintah. 

Namun pada pelaksanaanya, banyak sekali kendala yang dihadapi oleh beberapa sekolah. Sekolah yang belum siap dengan sistem digitalisasi akan keteteran. Menyiapkan server, sewa leptop, menaikan daya listrik, mempersiapkan jaringan, mengikuti simulasi-simulasi, sinkronisasi yang lama, jadwal yang menyita, dan permasalahan kecil lainnya. 

Proses digitalisasi UN sangat berpengaruh pada anggapan siswa tentang pendidikan. Kadangkala siswa merasa kecewa terhadap proses, misal saat pelaksanaan simulasi yang tidak berjalan maksimal. Siswa yang sudah menunggu lama kadang kecewa ketika server pusat belum siap. Banyak siswa yang labil dan tidak mau tau walaupun sudah diberi penjelasan. Akhirnya muncul perasaan kurang serius menghadapi UN. Nilai kesakralannya berkurang.

Pemerintah kita perlu memperhatikan dampak psikologis siswa. Tak sekedar melemparkan wacana untuk mencari pengaruh politik. Media seharusnya bisa mengontrol. Kalau tujuan pendidikan yang baik itu berorientasi pada karya, maka jalan tengah perlu diterapkan. Semisal menguatkan lingkungan budaya belajar dan budaya meneliti. Hal itu bisa dilakukan dengan membuat semacam lembaga penelitian di masing-masing jurusan. Klninik Bahasa, pada jurusan Bahasa. Laboratorium IPA pada jurusan IPA. Laboratorium sosial ekonomi pada jurusan sosial. Pada sekolah menengah kejuruan juga bisa dibuat lembaga pengembangan riset tiap jurusannya.

Kalau menurut saya, UN tetap dijalankan namun dibenahi lagi prosesnya. Tidak bisa dipukul rata. Sementara di wilayah lain, pemerintah seharusnya mendukung penuh dan memberikan legalisasi kesetaraan terhadap lulusan lembaga pendidikan informal, dengan memberikan hak yang setara. Bila hal itu terwujud, diharapkan mampu memberikan tingkat kedewasaan pada masyarakat, bahwa banyak pilihan dalam memilih lembaga pendidikan. Dengan demikian, maka akan tercipta konvergensi pendidikan nasional. Mungkinkah. 



*P.G.H.B. = Persatuan Guru Hindia Belanda



22 Maret 2019