KI HADJAR DEWANTARA JILID I
BAB II POLITIK PENDIDIKAN [#35]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka
: Diferensiasi
Diferensiasi bisa
diartikan sebagai pembedaan spesialisasi berdasarkan kemampuan. Kata
diferensiasi bisa disandingkan dengan istilah lain. Seperti diferensiasi kerja,
diferensiasi sosial, diferensiasi konsumen, diferensiasi psikologi, dsb.
Dalam dunia pendidikan
diferensiasi dibuat dengan memusatkan pada peserta didik. Peserta didik
memiliki keunikan, minat, dan bakat yang beragam. Hal itu menyebabkan kebutuhan
dan penyikapan yang berbeda pada tiap-tiap peserta didik.
Guru bisa menerapkan diferensiasi,
dengan berupaya mengenali minat dan bakat peserta didik. Apakah peserta didik
cenderung menguasai pengetahuan eksakta atau non eksakta; apakah peserta didik
memiliki karakter belajar visual, audio, kinestetik ataukah gabungan; dan
keterampilan apa yang dimiliki peserta didik.
Ada beragam cara dalam
menerapkan diferensiasi. Diferensiasi memandang diri peserta didik secara utuh.
Dalam pandangan Gardner, setiap peserta didik memiliki kecerdasan yang beragam.
Gardner menyebutnya dengan istilah Slim n Bil. Spasial, linguistik,
interpersonal, musikal, naturalis, body/kinestetik, intrapersonal, dan
logis/matematik. Terakhir ada pengkategorian tambahan yaitu kecerdasan
spiritual.
Pandangan Gardner
tersebut mampu mengubah persepsi tentang kecerdasan. Kecerdasan tidak hanya
dimiliki oleh mereka yang mempunyai nilai pelajaran tinggi di bidang eksakta.
Kecerdasan bukan didapat dari keturunan atau keunggulan ras. Kecerdasan
bersifat dinamis, bisa berkembang.
Diferensiasi haruslah
mampu dipahami guru, peserta didik, orang tua, dan lembaga. Posisi lembaga
ialah sebagai wadah; sedangkan guru sebagai pengamat dan pengarah dalam
memahami kebutuhan peserta didik; orangtua juga harus mampu memahami kebutuhan
dan mengarahkan sesuai kodrat peserta didik; peserta didik harus bisa mengenali
kemampuan dan kemauan yang ada pada dirinya.
Terkait diferensiasi,
KHD pernah dimintai pandangannya. Melalui surat tanggal 14 - v - 1947, no.
3460/Sp/1008/SM, KHD mendapat permohonan dari Jawatan Pengajaran Pendidikan dan
Kebudayaan. Surat tersebut berisi permohonan pendapat tentang diferensiasi
pengajaran di SMUA dan reorganisasi SMUA-I dan II di Yogyakarta.
KHD berpendapat,
pengajaran tingkat SMUA mengandung maksud menyesuaikan dasar kejiwaan murid
dengan aliran pengajarannya masing-masing, agar memudahkan kemajuan serta
berkembangnya akal budi. Masa itu diferensiasi telah dilakukan untuk aliran A
(kesusastraan), B (Ilmu alam dan pasti), C (untuk pekerjaan administrasi dll.)
Pembagian tersebut dimaksudkan untuk mewadahi bakat dan minat dalam spesifikasi
pengetahun.
Bila dikaitkan dengan
saat ini, tingkat menengah atas juga menerapkan diferensiasi kelas. Ilmu Alam,
Ilmu sosial, serta Ilmu bahasa dan budaya. Permasalahannya, seringkali peserta
didik tidak mampu memilih jurusan sesuai dengan bidang kemampuannya. Jurusan
Ilmu Alam sering dianggap sebagai jurusan anak-anak pintar, padahal definisi
kecerdasan bukan diukur dari kemampuan di bidang eksakta.
Anggapan tersebut yang
seringkali mengakibatkan ketidaksinkronan antara ekpektasi dam realita. Agar
dianggap pintar, kadang peserta didik mengambil jurusan ilmu alam padahal
kemampuannya pada ilmu sosial, kadang juga peserta didik memiliki minat di ilmu
bahasa dan budaya padahal kemampuannya pada bidang eksakta.
Minat yang tidal sesuai
dengan kemampuan menyebabkan peserta didik kurang maksimal dalam menyerap
pelajaran. Efek kelanjutannya akan berpengaruh pada pemilihan perguruan tinggi
dan spesialisasi kerja. Keterampilannya setengah-setengah.
Saya menyepakati
kesuksesan kerja tidak ditentukan oleh riwayat. Banyak tokoh-tokoh terkenal dan
sukses secara finansial yang memiliki riwayat sekolah yang bisa dikatakan tidak
cemerlang. Katakanlah Mark Zuckerberg, Albert Einstein, Thomas Edison, dan
James Marcus Bach, mereka memiliki pengalaman tidak menyenangkan semasa
sekolah. Mereka dianggap sebagai siswa nyleneh,
karena mereka different.
Sebagai seorang guru
perlu kepekaan dalam mengenali keberagaman peserta didik. Tidak ada peserta
didik yang bodoh. Semua terlahir dengan kecerdasan yang berbeda. Guru bukan
dewa, dan murid bukan kerbau. Memanusiakan hubungan akan menciptakan kegiatan
belajar bermakna.
7 April 2019
f
Ada yg bisa dibantu?