ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#35]

: April 07, 2019 2


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 

BAB II POLITIK PENDIDIKAN [#35]



Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka


: Diferensiasi


Diferensiasi bisa diartikan sebagai pembedaan spesialisasi berdasarkan kemampuan. Kata diferensiasi bisa disandingkan dengan istilah lain. Seperti diferensiasi kerja, diferensiasi sosial, diferensiasi konsumen, diferensiasi psikologi, dsb.

Dalam dunia pendidikan diferensiasi dibuat dengan memusatkan pada peserta didik. Peserta didik memiliki keunikan, minat, dan bakat yang beragam. Hal itu menyebabkan kebutuhan dan penyikapan yang berbeda pada tiap-tiap peserta didik.

Guru bisa menerapkan diferensiasi, dengan berupaya mengenali minat dan bakat peserta didik. Apakah peserta didik cenderung menguasai pengetahuan eksakta atau non eksakta; apakah peserta didik memiliki karakter belajar visual, audio, kinestetik ataukah gabungan; dan keterampilan apa yang dimiliki peserta didik.

Ada beragam cara dalam menerapkan diferensiasi. Diferensiasi memandang diri peserta didik secara utuh. Dalam pandangan Gardner, setiap peserta didik memiliki kecerdasan yang beragam. Gardner menyebutnya dengan istilah Slim n Bil. Spasial, linguistik, interpersonal, musikal, naturalis, body/kinestetik, intrapersonal, dan logis/matematik. Terakhir ada pengkategorian tambahan yaitu kecerdasan spiritual.

Pandangan Gardner tersebut mampu mengubah persepsi tentang kecerdasan. Kecerdasan tidak hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai nilai pelajaran tinggi di bidang eksakta. Kecerdasan bukan didapat dari keturunan atau keunggulan ras. Kecerdasan bersifat dinamis, bisa berkembang.

Diferensiasi haruslah mampu dipahami guru, peserta didik, orang tua, dan lembaga. Posisi lembaga ialah sebagai wadah; sedangkan guru sebagai pengamat dan pengarah dalam memahami kebutuhan peserta didik; orangtua juga harus mampu memahami kebutuhan dan mengarahkan sesuai kodrat peserta didik; peserta didik harus bisa mengenali kemampuan dan kemauan yang ada pada dirinya.

Terkait diferensiasi, KHD pernah dimintai pandangannya. Melalui surat tanggal 14 - v - 1947, no. 3460/Sp/1008/SM, KHD mendapat permohonan dari Jawatan Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan. Surat tersebut berisi permohonan pendapat tentang diferensiasi pengajaran di SMUA dan reorganisasi SMUA-I dan II di Yogyakarta.

KHD berpendapat, pengajaran tingkat SMUA mengandung maksud menyesuaikan dasar kejiwaan murid dengan aliran pengajarannya masing-masing, agar memudahkan kemajuan serta berkembangnya akal budi. Masa itu diferensiasi telah dilakukan untuk aliran A (kesusastraan), B (Ilmu alam dan pasti), C (untuk pekerjaan administrasi dll.) Pembagian tersebut dimaksudkan untuk mewadahi bakat dan minat dalam spesifikasi pengetahun.

Bila dikaitkan dengan saat ini, tingkat menengah atas juga menerapkan diferensiasi kelas. Ilmu Alam, Ilmu sosial, serta Ilmu bahasa dan budaya. Permasalahannya, seringkali peserta didik tidak mampu memilih jurusan sesuai dengan bidang kemampuannya. Jurusan Ilmu Alam sering dianggap sebagai jurusan anak-anak pintar, padahal definisi kecerdasan bukan diukur dari kemampuan di bidang eksakta.

Anggapan tersebut yang seringkali mengakibatkan ketidaksinkronan antara ekpektasi dam realita. Agar dianggap pintar, kadang peserta didik mengambil jurusan ilmu alam padahal kemampuannya pada ilmu sosial, kadang juga peserta didik memiliki minat di ilmu bahasa dan budaya padahal kemampuannya pada bidang eksakta.

Minat yang tidal sesuai dengan kemampuan menyebabkan peserta didik kurang maksimal dalam menyerap pelajaran. Efek kelanjutannya akan berpengaruh pada pemilihan perguruan tinggi dan spesialisasi kerja. Keterampilannya setengah-setengah.

Saya menyepakati kesuksesan kerja tidak ditentukan oleh riwayat. Banyak tokoh-tokoh terkenal dan sukses secara finansial yang memiliki riwayat sekolah yang bisa dikatakan tidak cemerlang. Katakanlah Mark Zuckerberg, Albert Einstein, Thomas Edison, dan James Marcus Bach, mereka memiliki pengalaman tidak menyenangkan semasa sekolah. Mereka dianggap sebagai siswa nyleneh, karena mereka different.

Sebagai seorang guru perlu kepekaan dalam mengenali keberagaman peserta didik. Tidak ada peserta didik yang bodoh. Semua terlahir dengan kecerdasan yang berbeda. Guru bukan dewa, dan murid bukan kerbau. Memanusiakan hubungan akan menciptakan kegiatan belajar bermakna.



7 April 2019

Unknownsaid...

f

Ahmad Fajarsaid...

Ada yg bisa dibantu?