ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#13]

: March 16, 2019


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 
BAB I PENDIDIKAN [#13]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka


: Sistim Trisentra


Ada sebuah cuplikan cerita menarik dari buku Mendidik Generasi Z & A, J. Sumardianta dan Wahyu Kris AW, yang membuat saya berpikir ulang tentang apa itu budi pekerti. Cerita tersebut tentang program pengualitasan  guru-guru PAUD Kutilang, lembaga pendidikan yang dikelola oleh Rumah Peradaban Rhenald Kasali. Guru-guru PAUD tersebut dikirim ke Florida State University (FSU) untuk belajar mengajar.

FSU memiliki Child Development Laboratory dikelola seorang guru besar perintis metode penyelenggaraan PAUD Beyond Centers and Circles Time (BCCT). Para guru dikirim untuk memperbaiki pola pikir mereka. Setelah satu minggu berjalan, guru besar FSU menemukan persoalan yang tidak disadari sebagai masalah oleh guru-guru PAUD Kutilang. Yaitu, mereka senang menertawakan temanya yang melakukan kesalahan. Salah ucap, salah bahasa, dan terpeleset. Hal apa saja jadi bahan candaan dan olok-olok.

Suatu ketika, di tengah-tengah observasi anak-anak usia TK, mereka terpingkal-pingkal mendapati salah seorang temannya menyenggol gelas hingga tumpah isinya. Muncul spontanitas tak terduga. Seorang anak TK berdiri. Bocah itu menasihati guru-guru asal Indonesia. "That's not funny. Why are you guys laugh? It's just a small mistakes. And everybody make a mistakes, okay? It's okay. Mistake is not a joke. Just improve and repair." (Itu ga lucu. Kenapa kamu tertawa? Itu hanya kesalahan kecil. Setiap orang pernah punya salah,ok? Kesalahan itu bukan sebuah lelucon. Bertambahlah baik dan perbaiki.) Para guru dari bekasi yang sedang belajar di Florida tertegun seketika.

Saya merasa tertampar ketika membaca cerita tersebut. Iklim sosial kita nampaknya kurang sehat. Tontonan yang ada di media dan guyonan dalam pergaulan seringkali memperlihatkan sikap yang keliru, menganggap kesalahan orang lain sebagai hiburan, dan bahan olok-olok. Dan itu semua berpengaruh pada ekologi pendidikan kita.

Tiba-tiba saja saya teringat dengan kasus siswi saya, Sulistiani. Ketika dia tertangkap basah menggunakan HP saat jam pelajaran. Teman satu kelas banyak yang membuli, dan menertawai. Saya menganggap itu sebagai sanksi moral sosial. Tapi kalau sudah kelewat batas, dan mempengaruhi psikologis anak, maka itu keterlaluan. 

Benar saja, setelah hari ini si Sulistiani menghadap saya, saya menangkap ada pembelaan terhadap kesalahannya. Ia bersikukuh bahwa ia tidak salah. Dari getaran kalimatnya terasa. Namun saya mencoba memberikan pengertian. Ada saat di mana seseorang harus bisa beradaptasi dengan norma yang berlaku, menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan semestinya. Di madrasah tidak boleh membawa HP, apalagi mempergunakannya saat jam pelajaran. Akhirnya dia menerima itu, dan mengakui apa yang dia lakukan merupakan pelanggaran. Sebagai tindak lanjut, saya dengan dia membuat surat perjanjian dengan materai, sebagaimana telah saya sampaikan pada sesi ulasan sebelumnya.

Sikap yang sama juga terjadi pada kasus lain. Tidak mau mengakui kesalahan. Waktu UMBN-BK hari kedua lalu, ada siswa terlambat. Karena sejak simulasi sudah punya riwayat keterlambatan, maka saya mencoba memberikan pengertian. Saya tidak memarahinya. Juga tidak menanyakan kenapa. 

Saya hanya mengatakan satu kalimat waktu itu, "Apa yang harus saya lakukan agar kamu tidak terlambat?" Tiba-tiba ekspresi mereka berubah, yang awalnya tersenyum-senyum dan ketawa-ketiwi. Mereka terdiam agak lama. Lalu salah satu mengatakan, "Besok saya akan berangkat lebih pagi Pak." Pernyataan itu saya timpali, "Itu solusi yang harus kamu lakukan. Pertanyaan saya, Apa yang harus saya lakukan agar kamu tidak terlambat?" Mereka menunduk, dan diam. Saya meneruskan kalimat lagi, "Sebenarnya saya bingung apa yang harus saya lakukan, seringkali saya hanya memberi nasihat, namun seringkali membuat hatimu sakit, dan itu tidak merubah apa-apa. Apa saya perlu menghampirimu agar tidak terlambat?"

Tiba-tiba pertanyaan saya dijawab dengan cepat oleh salah seorang siswa, sambil menjelaskan sebab keterlambatannya panjang lebar, dia merasa bahwa apa yang dia lakukan tidak salah. Dari getaran bahasanya dia nampak jengkel dan marah. Kemudian saya bertanya dengan pertanyaan yang sama lagi, dengan suara lirih. Mereka diam, tak lama kemudian siswa yang labil tadi mulai berkaca-kaca dan menumpahkan air mata. Lalu saya minta maaf kepada mereka semua karena tidak bisa mendidik dengan baik.

Kasus yang ketiga juga ada kemiripan, namun dilakukan secara berkomplot. Sebuah kritikan halus kepada guru-guru. Kelompok ini merupakan siswa dari kelas yang sudah dapat label "nakal". Mereka secara kompak membuat kaos kelas, berwarna merah, dan bertuliskan: Penikmat Jam Kos. Huruf "O" pada kata "Kos" diganti dengan gambar jam weker yang menunjukan pukul 10.20. Bagi beberapa guru, kaos itu keterlaluan, tidak sopan. Bagi saya itu adalah kritikan cerdas yang berangkat dari kenyataan. Mereka dicap nakal dan sering bolos, tak lain akibat dari jam kosong. Kaos itu adalah pembelaan, sekaligus kritikan, semacam parrhesia, kebenaran yang menimbulkan risiko ketika diungkapkan. Saya memahaminya sebagai dampak dari adanya komunikasi yang terhalang antara guru dengan siswa, yang pada akhirnya dilepaskan dalam bentuk tersirat.

Semua sekolah pasti ada tipologi siswa baik dan buruk. Dua hal sikap itu pasti selalu ada. Seperti yang dikatakan oleh KHD, bahwa setiap anak memiliki kodrat bawaan masing-masing. Tugas guru adalah menuntun, ibarat seorang petani yang membantu tumbuh-kembang tanaman agar bisa tumbuh baik. Kadang kala menyirami, memberi pupuk, membasmi hama dan gulma, dan memberi obat.

Upaya dalam menciptakan lingkungan yang sehat bagi pendidikan budi pekerti anak dalam mengatasi kenakalan bisa menggunakan Sistim Trisentra. Yaitu tiga pusat pendidikan. Pertama alam keluarga, kedua alam perguruan, dan ketiga alam  gerakan pemuda. Tiga pusat ini merupakan simpul yang tidak bisa dilepaskan dalam pendidikan budi pekerti. 

Tiap-tiap pusat harus tahu kewajibannya dan mengakui hak-hak pusat lainnya, yaitu:
a) keluarga buat mendidik budi pekerti dan laku sosial.
b) perguruan sebagai balai wiyata, yaitu sebagai tempat usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, disamping pengetahuan intelektual.
c) pergerakan pemuda: sebagai daerah merdekanya pemuda untuk melakukan penguasaan diri, yang amat perlunya buat pembentukan watak. 

Sistem yang dianjurkan KHD akan terlaksana dengan baik apabila terwujud persatuan dari semua lini. Menurut KHD, sistim persatuan Tiga-Pusat iti dapat tercapai dengan hal berikut:
a) Perguruan berdiri sebagai titik pusat dari persatuan "ketiga pusat" itu, yakni menjadi perantaranya keluarga dan anak-anaknya dengan masyarakat.

b) Guru-guru dari "balai-wiyata" itu menjadi penasihat untuk sekalian keluarga; memberi pengajaran ilmu, dan memberi bacaan.

c) Guru-guru di dalam dan di luar perguruan terus menjadi ketuanya anak-anak (penuntun laku, penasihat, pengamat, dll.)

d) Perguruan harus selalu tersedia sebagai balai pertemuan untuk sekalian orang tua (ceramah, taman pustaka, tempat belajar kesenian, dsb), sedangkan segala usaha dari pergerakannya anak-anak harus dilangsungkan di situ.

e) Sedapat-dapatnya dalam perkumpulan guru-guru harus ada guru yang pantas menjadi pemimpin-umum (matang pribadinya); ada yang pantas menjadi pemuka laku (olahraga, darmawisata, kesenian, tirakat, laku agama); ada yang pantas menjadi pemuka keputrian (guru wanita) dsb.

f) Guru-guru harus bersatu faham; kalau tidak dapat demikian, janganlah organisasi perguruan didasarkan atas demokrasi secara barat, tetapi harus berdasar leiderschap atau pimpinan.

g) Kaum ibu bapak harus membentuk majelis orang tua, melulu untuk memperhatikan soal pendidikan dan yang berhubungan dengan itu; organisasi perguruan semata-mata haknya kaum guru dengan majelis-majelisnya yang syah (tentang keuangan harus ada penilikan yang cukup)

h) Orang-orang tua murid harus berusaha untuk mengadakan fonds-fonds, misalnya fonds sakit buat anak-anak, fonds pengajaran untuk menyokong anak-anak yang tak mampu tetapi pantas disokong, fonds kesenian (kesenian adalah penolak intelektualisme), fonds darmawisata, fonds perayaan, dll. yang berguna bagi pendidikan anak-anak dan agar tidak memberatkan anggaran belanja perguruan.

i) Murid-murid harus takluk kepada aliran dari perguruannya atau hanya boleh diterima sebagai pendengar dan berkedudukan sebagai tamu. 

j)Di dalam pergerakan pemuda haruslah ada beberapa guru menjadi penasihatnya, sedangkan dalam melakukan langkah sosial pemuda-pemuda itu harus mementingkan laku kesosialan di dalam masyarakatnya sendiri (yaitu masyarakat ketiga pusat) di atas pekerjaan sosial untuk dunia besar (pembatasan dan pemeliharaan diri).

Sistem Trisentra, atau Sistem Tripusat, merupakan suatu upaya dalam menciptakan tata-tentrem. Pendidikan budi pekerti akan berjalan baik bila semua simpul menjalankan perannya dengan baik. Terutama pada wilayah alam keluarga. Alam keluarga adalah pusat pendidikan anak yang pertama, dan yang terpenting, sejak timbulnya adab-kemanusiaan hingga kini, hidup keluarga itu selalu mempengaruhi bertumbunya budi pekerti dari tiap-tiap manusia.

Berhubungan dengan itu, bisa dikatakan bahwa semua orang itu guru. Orang tua merupakan guru bagi anak-anaknya, Pendidik merupakan guru bagi siswa-siswanya, dan teman juga merupakan guru bagi teman pergaulannya. Hendaknya semua orang menyadari akan keadaannya, yang dapat berdiri sebagai guru (pemimpin laku adab), dan sebagai pengajar (pemimpin kecerdasan fikiran serta pemberi ilmu pengetahuan) dan sebagai contoh laku sosialnya.

Di zaman ini sistem Trisenta perlu dikembangkan, disesuaikan dengan era internet. Tugas seseorang bukanlah hanya menjadi guru (terminologi dari KHD) di dunia nyata, namun juga di dunia maya. 



16 Maret 2019