ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#18]

: March 21, 2019


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 
BAB II POLITIK PENDIDIKAN [#18]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka



: Pengajaran bagi Rakyat Kita Kurang dan Mengecewakan


Hari ini merupakan pembahasan pertama Bab II dalam buku KHD. Pada bab ini tertulis judul Politik Pendidikan. Ada perasaan berat ketika membaca kosa kata; politik. Dalam imajinasi saya tergambar sesuatu yang ruwet. Penyebab banyak konflik. Apalagi saat ini sedang berada dalam tahun politik. 

Saya muak dengan politik. Kemuakan itu saya lampiaskan dengan tidak membaca dan menonoton acara politik, sejak menjelang akhir tahun 2018 hingga hari ini. Bukan berarti saya tidak tahu politik. Yang jadi kemuakan saya adalah fenomena antropologinya. Saya mengamati, banyak masyarakat yang masih puber terhadap politik. Hal itu terwujud dengan maraknya sales politik, dan politikus musiman. Ketidakberesan tersebut juga mendapat respon dari beberapa media. Lalu terjadi pelabelan, yang sudah kita ketahui. Pemberitaan di wilayah ini jadi komoditas pedas laris. Makanya saya berhenti menonton acara yang berkaitan dengan itu. Karena pencernaan saya mual saat mengonsumsinya.

Terlepas dari itu semua, saya mencoba menenangkan diri. Menghilangkan imajinasi kotor saya terkait kosa kata politik, agar bisa menerima materi pada Bab ini. George Orwell (G.O) pernah mengatakan; "di jaman ini tidak mungkin orang bisa lepas dari politik. Semua masalah adalah selalu masalah politik." Pernyataan tersebut saya baca pada buku Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan, yang ditulis oleh Linda Thomas dan Shan Wareing, 2007. Menyambung ungkapan G.O., pada salah satu bab buku ini mendifinisakan, bahwa politik adalah masalah kekuasaan, yaitu kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumber daya, mengendalikan perilaku orang lain, dan seringkali juga mengendalikan nilai-nilai yang dianut orang lain. Bahkan keputusan-keputusan biasa yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari pun dipandang dari sudut pandang politik.

Definisi tersebut saya jadikan bekal dalam memahami Bab II ini. Agar sedikit terbantu dalam mengeja gagasan KHD. Seperti yang telah diketahui, KHD merupakan salah satu tokoh pendiri bangsa. Beliau memiliki pandangan luas yang berkaitan dengan politik, pendidikan, dan kebudayaan. Tulisan saya ini hanya sekadar upaya memahami gagasan beliau, bukan menafsirkannya, karena keterbatasan yang ada dalam diri saya.

Judul yang saya pakai pada tulisan ini merupakan sebuah judul artikel KHD dalam majalah Wasita Jilid I No. 5, Februari 1929. Terasa ada ungkapan kekecewaan dan sedikit jengkel. Kekecewaan KHD ditujukan pada pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial pada waktu itu.

Menurut KHD, pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial masih kurang dan mengecewakan. Pendidikan sampai jenjang tinggi hanya terbatas pada kaum priyayi. Sedangkan masyarakat umum sekadar mendapat sekolah bumiputra kelas satu, kelak menjadi H.I.S.. 

Masyarakat senang dengan adanya H.I.S.  Banyak yang berharap mendapatkan kesempatan yang sama dalam menyamai derajat penghidupan dengan bangsa lain. Namun hal itu mendapat kritik dari KHD. Anak-anak lulusan H.I.S. tak dapat diterima untuk jenjang yang lebih tinggi, karena kepandaiannya kurang.

Untuk mendapat pekerjaan, anak-anak lulusan H.I.S. hanya cakap untuk menjabat juru tulis atau juru tulis pembantu, dengan gaji yang sama dengan jongos. Selain itu, anak-anak H.I.S. banyak yang kehilangan tabiat kerakyatan dan merasa lebih tinggi derajatnya, daripada saudara-saudaranya yang tak pandai berbahasa Belanda. 

Anak-anak H.I.S. kehilangan rasa kerakyatannya, karena mulai umur 6 tahun mereka dididik menjadi atau seperti Belanda. Mereka setiap hari membaca buku-buku Belanda, sehingga seolah-olah terpisahlah rasanya dari jiwa kerakyatan. Acapkali mereka juga membaca cerita atau mengarang cerita yang mengurangi kepercayaannya dan kebanggaannya terhadap pada rakyatnya sendiri. Kalau anak-anak terdidik demikian, niscayalah mereka itu tak suka lagi hidup seperti rakyatnya. Kemudian oleh karena tak cukup kepandaiannya, maka jatuhlah mereka itu pada jurang perbudakan.

Itu yang menjadikan KHD kecewa. Pendidikan pada zaman itu tak dapat memberi kepuasan pada rakyat. Pengajaran seolah-olah dijadikan contoh, dan umumnya dianggap sebagai usaha untuk menjunjung derajat pribumi, namun tak memberi penghidupan yang sepadan dengan cita-cita rakyat. Nasib rakyat semata-mata hanya dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa lain.

Oleh karena itu, KHD berpendapat bahwa rakyat wajib berusaha sendiri untuk:
  1. memperbanyak sekolah-sekolah bagi anak-anak kita di seluruh Indonesia;
  2. memperbaiki pelajarannya, hingga anak-anak kita mudah dapat menuntut pelajaran yang lebih tinggi;
  3. mendidik anak-anak kita, agar mereka merasa bangga sebagai anak rakyat kita.


Ketiga fatsal tersebut bertujuan agar kelak bangsa kita mempunyai rakyat yang kuat lahir dan batinnya, untuk menjunjung tinggi derajat bangsanya. Untuk mencapai hal tersebut, KHD menyampaikan haruslah pendidikan (khususnya Taman Siswa) memakai sistem nasional, yaitu sistem pondok (jaman Islam), atau ashrama (jaman Budha).

Sistem tersebut jauh berbeda dengan sistem pendidikan barat yang diterapkan pada masa itu. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial ialah sistem paksaan atau berdasar pada regering, tucht, orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Sistem tersebut pada masa itu sebenarnya di Eropa sendiri juga mulai diganti dengan sistem baru. Sistem baru yang mulai menyatukan lagi pengajaran dan pendidikan, dengan mengingat ruh dan tubuh anak, kodratnya, serta menghidupkan lagi tabiat guru agar tidak menjadi mesin pengajar, tetapi bertindak selaku manusia. Masa itu, haluan baru dalam pendidikan Eropa bertujuan memberi kemerdekaan atau kelonggaran kepada anak agar tumbuh menurut tabiatnya sendiri.

KHD mengungkapkan, anak-anak yang mendapat pengaruh pengajaran sistem sekolah Eropa, terkhusus H.I.S.--tidak hanya menimbulkan egoisme dan individualisme, tetapi juga membelandakan anak-anak kita dan menjadikan mereka kaum budak.

Lalu sistem apa yang sesuai? Jawabanya ialah sistem nasional. Bangsa ini memiliki sistem pengajaran sendiri. Tentang pendidikan, di dalam kesusastraan nasional terdapat banyak kitab-kitab pendidikan. Perkataan Jawa; hemban dan ngemong mengandung arti yang penting sekali berhubung dengan sistem pendidikan model baru yang lahir di Eropa.

Perkataan paedagogiek berasal dari bahasa Griek (Yunani), yang dalam bahasa itu berarti seorang budak yang diserahi untuk mengamat-amati tingkah laku anak dan mengajarnya menulis serta membaca. Teranglah disini arti perkataan hemban sama dengan paedagogiek. Adapun perkataan ngemong itu juga sama artinya dengan opvoeden menurut sistem pendidikan model baru di Eropa, yaitu: memberi kelonggaran pada anak untuk mendidik dirinya menurut kodratnya sendiri.

Di sini nyata sekali, bahwa sistem baru dalam pendidikan Eropa itu, buat kita sama sekali bukan sistem baru, tetapi sistem nasional, yang asalnya dari nenek moyang kita.

Persoalan yang sering dihadapi saat ini adalah rasa ketidak percayaan diri sebagai bangsa. Seringkali yang jadi masalah adalah membandingkan hasil pendidikan kita dengan pendidikan barat. Kita merasa rendah diri, dan menganggap pendidikan barat itu superior, sangat maju. Padahal tak jarang anak-anak kita juga sering mendapatkan medali emas pada tiap kali olimpiade internasional. Maka pertanyaan yang mungkin perlu dijawab, standar mana yang kita tentukan untuk mengukur kesuksesan pendidikan bangsa kita?



21 Maret 2019

1comments
Unknownsaid...

Menarik, ditunggu seri selanjutnya