ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#34]

: April 06, 2019


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 
BAB II POLITIK PENDIDIKAN [#34]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka


: Memilih Kebudayaan


Pada sidang Komite Nasional Pusat (DPR) di Malang 3 Maret 1947, KHD menyampaikan pidato berkaitan pemilihan budaya yang baik untuk Indonesia. KHD menyampaikan bahwa dirinya bukan seorang pembenci kebudayaan asing atau menolak bahan-bahan dari budaya asing. Bagi KHD, kebudayaan adalah kemurahan hati Tuhan kepada manusia, untuk dapat hidup dan mempunyai penghidupan yang serba tertib dan damai, dan mendatangkan keselamatan serta kebahagiaan.

KHD menyarankan, sebagai manusia beradab harus sanggup memilih apa yang baik dan bermanfaat bagi hidup dan penghidupan bangsa Indonesia. Walaupun berasal dari Jepang atau Belanda, kalau bahan-bahan dari musuh itu baik dan berguna, maka tidak boleh ditolak. Ada dua syarat yang harus dipenuhi. Yaitu: ambillah dari kebudayaan asing segala apa, yang : a. dapat memperkembangkan, yaitu memajukan kebudayaan Indonesia sendiri, dan b. yang dapat memperkaya, yaitu menambah kebudayaan Indonesia sendiri.

Dalam memilih kebudayaan haruslah selektif. Tidak boleh menelan mentah-mentah. Yang tidak perlu sebaiknya diabaikan. Kebudayaan adalah buah-budi manusia beradab, dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan, yang selalu mengelilingi hidup manusia, yaitu kekuatan kodrat-alam dan zaman/masyarakat dari tiap-tiap bangsa. Ini menyebabkan selalu nampak corak-corak dan warna-warna khusus pada kebudayaan dari masing-masing negara.

Awal kemerdekaan sering kali terjadi polemik dalam menyikapi yang demikian. Bangsa Indonesia menghendaki kemerdekaan seutuhnya, tidak hanya kemerdekaan politik saja, tetapi merdeka dalam hidup kebudayaannya, merdeka dalam caranya mewujudkan hidup dan penghidupannya sendiri. KHD mempertanyakan sikap, apa perlunya mengejar dan mencapai kemerdekaan politik, kalau dalam kebudayaan, dalam sifat, dan penghidupan masih membuntut dan dijajah bangsa lain. Bila hal itu tidak disadari, awal atau akhir kemerdekaan politik juga akan terdesak, akan lenyap atau tidak berarti, kalau tidak didasarkan atau disandarkan pada kemerdekaan kebudayaan.

Pendirian dalam kebudayaan perlu diutamakan dalam mempersoalkan pendidikan dan pengajaran. Pada hakikatnya, pendidikan dan pengajaran ialah usaha kultural, dengan maksud mempertinggi derajat masyarakat pada umumnya. KHD menganjurkan sifat dan bentuk pendidikan dan pengajaran harus adanya corak-warna kebangsaan. Tentang hal ini sudah diatur dalam pasal Undang-Undang Dasar.

Anjuran menasionalkan sistem pendidikan dan pengajaran masih harus diulang-ulangi, karena masih nampak gerak-gerik dalam Kementrian Pengajaran masa itu yang masih berbau kolonial, seakan-akan tidak ada revolusi nasional dan revolusi sosial yang mengharuskan pembalikan dalam segala urusan pendidikan dan pengajaran. Bukan pembaharuan hanya dalam bentuk-bentuknya, tetapi pembaharuan dasar-dasarnya.

KHD menyebutkan contoh, gerak-gerik yang dimaksud larangan dari kementerian kepada rakyat untuk mendirikan sekolah-sekolah partikelir. Larangan itu dikritisi oleh KHD, karena rakyat, pemuda, dan kaum pemberontak sejak 17 Agustus 1945 telah menginjak-injak dan merobek-robek segala "Osamu Serei" (peraturan Jepang), tetapi kementerian pengajaran berani menghidupkan peraturan-peraturan Jepang.

Selain itu, murid dari sekolah partikelir tidak diperbolehkan turut menempuh ujian untuk memasuki sekolah-sekolah menengah negeri. Ada pula kegelisahan karena masih adanya jawatan yang tidak suka menghargai ijazah sekolah-sekolah partikelir. KHD menyayangkan peraturan dan implikasi tersebut. Aturan yang pada zaman Belanda sudah dibolehkan, namun di zaman kemerdekaan diterapkan ulang.

Pada pidato ini, KHD menyampaikan tiga hal, kebudayaan, pendidikan dan pengajaran, serta bahasa. KHD menolak dengan tegas pengembalian bahasa Belanda ke dalam sekolah-sekolah. KHD menyatakan dirinya bukanlah Hollander-hater, KHD ingin bersahabat dengan manusia seluruh Indonesia.

Dalam pidatonya KHD juga menyampaikan sikap pendirian tentang hubungan antara Indonesia dan Nederland, baik soal politik maupun kebudayaan. Jurang antara Indonesia dan Belanda tidak bisa dilenyapkan dengan jembatan apapun juga; jurang itu makin lama makin besar; dan itu baik; jurang itu harus menjadi besar, hingga menyemai samudera yang memisahkan Indonesia dari Nederland; barulah nanti Indonesia dan Belanda sebagai sahabat bisa berjabatan tangan. Indonesia dan Belanda berlainan hidup dan penghidupannya. Sikap tersebut merupakan pendirian KHD tentang hubungan antara Indonesia dan Belanda, serta pendirian beliau dalam naskah persetujuan Linggarjati.



6 April 2019