ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#16]

: March 20, 2019


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 
BAB I PENDIDIKAN [#16]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka


: Topo Meneng


Pada malam tahun baru--pergantian tahun 1940/1941, KHD menulis sebuah artikel dalam bahasa Belanda berjudul Onderwijs en opvoeding op nationale basis (Pengajaran dan Pendidikan dengan Dasar Kebangsaan). Pada tulisan tersebut, KHD menceritakan suka duka perjuangan pendidikan dan pengajaran Taman Siswa.

Saat Taman Siswa didirikan tahun 1922, banyak muncul reaksi-reaksi keraguan dari berbagai kelompok, tak dipungkiri dari bangsa Indonesia juga. Hal tersebut direspon oleh KHD dan para pendiri dengan melakukan Topo Meneng,  yaitu bertapa sambil berdiam diri selama satu windu (delapan tahun).

Setelah sewindu pertama yang penuh dengan perjuangan batin, tibalah waktunya konferensi, yakni pada tahun 1930. Konferensi pertama tersebut diikat dengan nama Persatuan Keluarga, yang dihadiri sekitar 60 perwakilan cabang Taman Siswa. Persatuan Keluarga adalah nama yang dipakai untuk persatuan anggota guru Perguruan Taman Siswa, kalau sekarang semacam PGRI. Penamaan tersebut diambil dengan dasar kebudayaan bangsa. Menurut KHD dalam bidang keorganisasian, sejak berdirinya sudah diberi dasar kebudayaan, Ini yang membedakan dengan perkumpulan, yang dengan penarikan iuran sebagai pengikat resmi yang utama. Penggunaan istilah keluarga, memunculkan imajinasi "keluarga besar yang suci", di mana cinta kasih, dan ketekunan pengabdian dan pengorbanan, pendek kata segala bentuk sikap hidup yang baik untuk manusia, tidak lagi merupakan teori atau keharusan, melainkan kenyataan yang sama-sama di-hidupi dan dirasakan dalam arti yang semurni-murninya.

Tulisan KHD pada artikel ini menyebutkan bahwa pada tahun 1930, pada waktu kongres pertama diselenggarakan, dapat dilihat kenyataan bahwa bentuk-bentuk barat, bagaimanapun baik dan tepat untuk masyarakat barat, namun buat kita kerapkali bukanlah bentuk-bentuk yang tepat. Dalam kongres pertama itu KHD menyampaikan sebuah seruan kepada kongres: "Neng, ning, nung, nang". Oleh karena meneng yang berarti diam, kita mendapatkan wening atau kesucian; dari kesucian kita mendapatkan anung, yaitu kekuatan, kemudian dengan sendiri datanglah kemenangan.

Topo Meneng yang dilakukan oleh KHD selama sewindu, ditujukan untuk mengelakkan rintangan yang datang dari bangsa sendiri. Pada masa itu banyak yang ragu, bagaimana mungkin berani mendirikan sekolah-sekolah tanpa bantuan pemerintah, menempatkan orang-orang dari bangsa sendiri sebagai guru bahkan menjadi ketua-ketua perguruan--yang dulu disebut inlanders.  Pada masa itu, banyak orang dari bangsa kita yang menyangsikan cita-cita KHD yang ingin membawa: bahasa sendiri, kesenian sendiri, sejarah sendiri, adat-istiadat sendiri, pendek kata segala sesuatu dari bangsa sendiri akan dibawa ke ruang perguruan. 

Delapan tahun awal, hasil pertama sekolah yg lebih tinggi, KHD bersama pendiri memberanikan mendirikan jenjang Taman Dewasa (setara dengan Mulo atau SMP), pendirian tersebut menimbulkan respon miring, dan menjadikan KHD mendapat sebutan pemimpi, dan teman sejawatnya yang telah menikmati masa pensiun dari penilik sekolah, menyatakan KHD gila.

Pada tahun 1928, menjadi titik tolak dari sejarah Taman Siswa, telah lulus tujuh dari dua belas murid pada ujian A.M.S. (setara SMA) jurusan alam-pasti. Pada masa itu mulai banyak orang mengakui dan melihat keberhasilan Taman Siswa. Sejak itu, persentase kelulusan anak-anak Taman Siswa dalam ujian masuk ke sekolah yang lebih tinggi mulai meningkat.

Sesudah kongres pertama, Perguruan Taman Siswa mulai menemukan garis terang tentang dasar kebangsaan. Mengenai tenaga guru, Taman Siswa agak kurang tergantung pada pihak lain--sejak di Yogyakarta didirikan Taman Guru pusat, dan di Malang, Surabaya, Semarang, Jakarta, dan Medan didirikan sekolah-sekolah guru untuk sekolah tingkat rendah. Cabang Perguruan Taman Siswa di Jakarta mendirikan Taman Dewasa Raya, sekolah meningkat atas, yang beberapa siswa tamatannya dapat melanjutkan pelajaran ke luar negeri, seperti di India, Jepang, dan Philipina dengan dibebaskan ujian masuk.

Tulisan KHD pada pergantian tahun 1940/1941 ini, barangkali merupakan respon beliau terhadap peristiwa 1935. Polemik kebudayaan yang dicanangkan oleh SutanTakdir Alisjahbana (STA). STA merupakan seorang futurist, gagasannya radikal, mampu menampar dan memberi semangat golongan tua dan golongan muda. 

Tulisan-tulisan STA tentang kebudayaan memicu polemik di surat kabar Suara Umum dan Pujangga Baru. STA menuliskan tentang pandangan masa depan Indonesia pada tiga hal: 1) masyarakat dan kebudayaan baru, 2) pendidikan nasional, 3) peran pendidikan dalam pembangunan bangsa. STA menyatakan, bangsa kita harus meniru sifat dinamis kebudayaan barat dan meninggalkan kebudayaan timur yang mengikat, agar kita mampu menyamai perdabaan barat. Pernyataan tersebut mendapat respon dari beberapa tokoh, ada yang pro, kontra, dan netral.

KHD ada pada posisi netral. Menurut beliau, perubahan zaman tidak bisa ditolak, namun juga tidak bisa ditelan mentah-mentah. Sikap tersebut seperti yang tertuang pada pembahasan sebelumnya berkaitan tentang asas penerimaan. Melestarikan kebudayaan bukan berarti harus bersikap konservatif. Budaya ibarat pakaian--kata KHD--kalau sudah ketinggalan mode, kita harus berani meninggalkannya. Namun yang perlu diingat, pendidikan bangsa kita harus berjalan selaras antara akal dan nurani.

Dalam Tulisannya di pergantian tahun 1940/1941 KHD mengungkapkan bahwa pada waktu tersebut persatuan menjadi lambang, maka niat menyendiri harus ditinggalkan. Konvergensi (bertemunya garis-garis dalam satu titik) pada tingkat tinggi harus diusahakan dengan tujuan bukan perasamaan, melainkan kesatuan yang konsentris, yaitu kesatuan dari bermacam-macam lingkaran yang berdiri sendiri-sendiri dengan satu titik pusat. Dengan begitu, maka kesatuan itu bukan buatan. Melainkan pertumbuhan bersama yang wajar. Dengan begitu pula, maka dasar kesatuan bukanlah bentuk kesatuan yang lapuk, melainkan individualita yang tertuju kepada kemasyarakatan.

KHD menyadari Pada masa itu, Taman Siswa telah bertumbuh menjadi pusat gerakan kebudayaan penting. Cita-cita klein ambtenaar (pegawai rendahan) telah kita tinggalkan dan kejadian ini sedikit demi sedikit dapat menimbulkan pekerjaan-pekerjaan baru atau menyebabkan orang suka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lama yang dahulu oleh karena adanya diploma, profesi klein ambtenaar hanya dihina saja. Pendidikan nasional telah menimbulkan rasa cinta terhadap kebudayaan dan kebatinan sendiri. Tetapi tidak itu saja, melainkan menyebabkan pula berfikir dan berbuat kejurusan yang sama, dan dengan begitu menumbuhkan benih-benih kompleks yang terpendam dalam lubuk jiwa. Benih-benih kompleks yang dimaksud yakni perasaan inferioritas, yang mendewa-dewakan Barat atau juga yang menyebabkan kita membencinya mati-matian, atau juga kedua-duanya.

Tulisan KHD pada pergantian tahun 1940/1941 menyiratkan adanya semangat baru, berupa kesatuan konsentris pada sebuah konvergensi, hasrat untuk merdeka dan berdaulat. Tersirat rasa bhineka tunggal ika. Dan pada akhirnya, 17 Agustus 1945 kesatuan konsentris tersebut mewujud dalam sebuah proklamasi bangsa Indonesia yang menyatakan kemerdekaannya dari belenggu penjajahan. Wallohua'lam Bishowab.



19 Maret 2019