ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#3]

: March 06, 2019


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 
BAB I PENDIDIKAN [#3]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka


: Ko-edukasi dan Ko-intruksi Perempuan dan Laki-laki Bersama-sama


Sikap KHD dalam mendidik siswa-siswanya menggunakan nilai-nilai yang diambil dari konsep keluarga. Menurut beliau banyak teladan dan contoh yang bisa diambil.

Soal ko-edukasi dan ko-intruksi, KHD membuat antitesis berbeda dari kebudayaan eropa. Bagi KHD belajar bersama-sama dan dididik bersama-sama adalah dua hal yang berbeda. Ukuranya pada kodrat dan kenyataan.

Sejak berdirinya Taman Siswa di Yogyakarta, KHD sudah melakukan pembedaan terkait sikap dan kebutuhan bagi siswa terkhusus perempuan, dg mendirikan Wisma-Rini. Semacam asrama kaputren dg tambahan pengajaran dan pendidikan berisi pandangan serta rencana dftr kegiatan anak-anak gadis.

KHD beranggapan, nilai-nilai pendidikan keluarga yang sudah selaras perlu diperkuat. Seperti hubungan anggota keluarga perempuan dg laki-laki dalam adat Jawa. Hubungan tersebut diatur dg adat kesopanan (tata krama).

Pembatasan tersebut bukan dalam artian membatasi sepenuhnya pergaulan antara perempuan dengan laki-laki. KHD menekankan pada pertumbuhan psikologis dan biologis anak. Sebelum waktunya anak memasuki masa berahi (pubertas), maka anak perempuan dan laki-laki mendapat pengajaran dan pendidikan bersama-sama (ko-intruksi dan ko-edukasi). Mereka bermain, belajar bersama-sama dan di dalam rumah tempat tinggalnya pun bersama-sama.

Kalau masanya berahi datang, dalam adat Jawa ditandai dg sunatnya laki-laki dan haidnya wanita, maka anak-anak perempuan dan laki-laki dipisahkan tempatnya (kaputren dan ksatrian). Tapi mereka masih dapat bercampur gaul seperti biasa. Kalau waktu malam datang, berlisahlah laki-laki dan perempuan.

Menurut fikiran orang Eropa, aturan tersebut dinamakan cemburuan dan dirasa tidak baik. Sedang dalam adat istiadat kita hubungan antara perempuan dan laki-laki sudah diatur dengan adat kesopanan. Hal tersebut menjadi tanda bahwa bangsa kita dalam adat istiadat senantiasa mementingkan petunjuk kodrat, yang dalam peribahasa Belanda berbunyi: "The natuur is sterker dan de leer" (Kodrat ktu lebih kuasa daripada pengajaran).

Oleh karena itu, dalam pendidikan kita ada peraturan: 
1) sebelum masa berahi ko-edukasi dan ko-intruksi bersama-sama tetap dijalankan, karena bisa menumbuhkan pergaulan yang selaras. 
2) Ketika masa berahi pertama datang,  perempuan usia 14 tahun dan laki-laki usia 16 tahun ko-intruksi tetap dijalankan, namun pergaulan antara laki-laki dan perempuan harus sudah diatur dengan asas kesucian dan sifat kesopanan. Semisal: seorang gadis tidak boleh berjalan berduaan dg laki-laki, ketika sang Matahari atau Batara Maha Pengawas sudah pergi seorang gadis tidak diperkenankan berpergian kecuali bersama orang tua.
3) Pengawasan keras dilakukan orang tua pada masa sangat-sangatnya rasa berahi menyala (baca: masa sangean). Yaitu umur 16-18 untuk gadis dan 18-25 untuk laki-laki. Dalam hal ini orang tua harus senantiasa ingat bahwa nafsu perempuan itu pasif (tak bertenaga, menyerah) dan nafsu laki-laki itu aktif (bertenaga). Dalam ilmu pendidikan Jawa dikenal istilah nglamuri, yang artinya "kabur" atau "kelam" dan mengandung makna 'berbuta tuli', inilah tabiatnya anak laki-laki dalam waktu berahi (baca: sange).
4) Sesudah anak gadis berumur 20 tahun, dan anak laki-laki berumur 25 tahun, hendaknya mereka dimerdekakan sama sekali. Karena boleh kita anggap pendidikan batin sudah cukup, dan menikah pun sudah pantas.

Dalam menjalankan peraturan itu sedapat-dapatnya anak jangan sampai merasa dicemburui. Pergaulan yang biasa harus dimerdekakan, bahkan perlu sekali anak laki-laki dan perempuan sering dicampur-gaulkan dengan sengaja (sambil diawasi), agar mereka merasa biasa dalam pergaulannya, yaitu merasa bersaudara. Lagi pula kalau ada gadis, anak laki-laki terpaksa berbicara dan berlaku sopan.

Anak laki-laki dan perempuan, teristimewa perempuan harus dididik rasa kesopanannya (kesusilaan) karena keadaan dalam tingkah-laku itulah "pagar keselamatan" (pagar rahayu). Anak yang kuat rasa kesopanannya tidak akan mudah digoda oleh laki-laki dan akan terlepas dari goda. Sebaliknya, anak gadis yang membuang atau kurang kesopanannya, biasanya tidak ditakuti oleh orang laki-laki.

Selain itu, haruslah dalam pendidikan dan pengajaran diterangkan juga secara khusus perihal segala hal berhubungan dg bersuami-isteri, sebaiknya berdasarkan religie, agar supaya anak perempuan tahu dan insyaf akan kodratnya.

Supaya mudah mendidik rasa yang halus haruslah pendidikan disertai syarat-syarat kemanusiaan, jangan sampai intelektualitis. Karena itu, perlu sekalo gadis-gadis didekatkan pada "hidup biasa", di mana mereka akan mendapatkan contoh-contoh keadaan dan syarat-syarat, yang tentu lambat laun akan memberi keinsyafan tentang rasa dan cara kemanusiaan.

Seperti kita semua tahu, bahwa jaman sekarang anak-anak semata-mata berpisah dengan keadaan kemanusiaan. Oleh karena itu, acapkali kita sendiri bingung dalam fikiran untuk menetapkan pendapat atau peraturan tentang suatu hal, maka perlu sekalilah kita meluaskan pandangan kita dengan berdasarkan kodrat serta mengindahkan contoh-contoh dan syarat-syarat adat-istiadat rakyat kita, karena seringkali dalam adat-istiadat tersebut terdapat syarat-syarat yang sudah selaras dengan kodrat. Namun kalau perlu, kita harus berani meniadakan adat, jika ternyata jalan itu akan dapat memperbaiki hidup kita.



6 Maret 2019