ULASAN BUKU KI HADJAR DEWANTARA [#21]

: March 24, 2019


KI HADJAR DEWANTARA JILID I 
BAB II POLITIK PENDIDIKAN [#21]
Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka


: Meruntuhkan Ordonansi 


Akhir tahun 1932 terjadi aksi yang amat hebat melawan Wild-scholen-Ordonantie (ordonansi sekolah liar). Perlawanan terus berlangsung hingga tahun 1933. Perlawanan tersebut melibatkan berbagai lini masyarakat. Mulai dari sekolah-sekolah swasta, organisasi gerakan rakyat dan kepemudaan, serta perguruan-perguruan.

Mobilisasi besar-besaran dilakukan oleh PGHB (Persatuan Guru Hindia Belanda). Bahasa agitasi digencarkan untuk menghimpun energi massa. Melalui dua semboyan:
Tiap-tiap rumah jadi Perguruan!Tiap-tiap orang jadi Pengajar!Dengan atau tanpa Ordonansi!
dan,
Mobilisasi intelektuil Nasional menuju pelaksanaan wajib belajar!

Dua semboyan tersebut menyalakan api semangat perjuangan dalam upaya penyadaran rasa kebangsaan dan menciptakan angan-angan "Indonesia-Raya". Bukan hal yang mudah. Perjuangan melalui kata terbentur oleh imajinasi rakyat. Gagasan sistem pendidikan Nasional masih belum mampu masuk ke dalam angan-angan rakyat masa itu. Rakyat masih jumbuh dalam menerapkan sistem pendidikan Nasional. Imajinasi sistem pendidikan kolonial masih bercokol kuat. Oleh karena itu perlu adanya gerakan radikal yang mampu melumat habis sistem kolonial sampai ke akar-akarnya.

Ordonansi Pengajaran melarang penggunaan penamaan istilah-istilah jenjang sekolah milik Belanda, seperti HIS, Mulo, AMS, dll. atau cap yang tercatat menurut hukum masa itu, jikalau pengajar-pengajarnya tidak keluaran dari Nederlandsch Fabrikaat (pabrik Belanda). 

Ordonansi Pengajaran hanya memberi ijin untuk mengajar atau mendirikan sekolah, jika menurut kepala negeri, orang yang dimaksud baik budi pekertinya, dan menurut anggapan inspektur cukup kepandaiannya. Tentunya hal tersebut merupakan versi pemerintah kolonial, dikatakan baik bila mendukung dan menyepakati kepentingan-kepentingan kolonial. Hal tersebut merupakan monopolie stelsel yang memakai cap Belanda sebagai merk terbaik.

Monopolie dan Licentie-stelsel tentang watak, pengetahuan, dan peralatan dalam soal mencukupi pengajaran adalah gambaran semangat materialisme untuk keperluan politik dan ekonomi dari bangsa yang berkoloni.

Stelsel Pendidikan dan Pengajaran yang melindungi masyarakat Hindia-Belanda menjauhkan rakyat dari datangnya masyarakat baru, masyarakat Indonesia, yang dalam imajinasi KHD merupakan masyarakat yang tidak akan lagi jadi perkakasnya bangsa asing di negeri sendiri, akan tetapi menjadi pembangun dan penyusun masyarakat merdeka.

Pemerintah kolonial masa itu menerapkan sistem politik yang sangat halus. Rakyat tidak merasa bila sedang ditanam dalam dirinya sebuah kultur baru ala Belanda. Sehingga banyak rakyat yang tidak merasa bahwa dirinya ditindas. Hasil pungutan pajak _Westersch-koloniaal onderwij-systeem, yang diperlindungi oleh Ordonansi Pengajaran, merupakan bukti nyata upaya pene-rapanpolitik etis.

Politik etis memang sangat halus, ada banyak jasa yang diberikan dibanding waktu penerapan politik VOC. Turunan karakter rakyat dari politik etis yakni mulai hilangnya kepercayaan pada diri dan rakyatnya, bahkan pada peri keadaban bangsa sendiri, sehingga budaya dan sosial rakyat amat tergantung pada masyarakat Eropa.

Pergerakan politik yang dilakukan oleh rakyat pada masa itu, sungguhpun dapat menyadarkan rasa kebangsaan dan menciptakan angan-angan "Indonesia-Raya", namun karena turunan rakyat masa itu merupakan hasil kolonial etik, maka belum sepenuhnya memiliki ruh murni nasional, tetapi masih terlihat cap Belandanya, sehingga keinginan, kemauan, dan tenaga rakyat masa itu seringkali berbau ruh kolonial dan menyokong kepentingan kolonial.

Usaha dari perguruan kebangsaan untuk membelokkan aliran kolonial ke arah nasional dengan mengadakan cara dan isi pengajaran sendiri, seringkali hanya mendapat persetujuan dalam kata, tidak dengan tenaga, disebabkan karena umumnya orang masa itu masih mengharap tempat di dalam masyarakat Hindia-Belanda, sehingga seringkali aliran prinsipil nasional terdesak oleh Reddingsarbeid (masih berhubungan dengan keadaan masyarakat masa itu).

Matinya Westerch-koloniaal School-systeem belum berarti mendekatkan rakyat pada datangnya masyarakat Indonesia, karena bayang-bayang sistem tersebut masih terus mempengaruhi mereka yang tadinya hidup dan bercita-cita kolonial, dan oleh karenanya boleh jadi masih berdaya upaya menghidupkan pula cara pengajaran yang berdasar kebudayaan barat, menyokong kepentingan kolonial dengan bersyarat Schoolsysteem.

Untuk menyempurnakan lenyapnya Westersch-koloniaal Schoolsysteem, maka perlu keberanian untuk melakukan sistem dari perguruan nasional dengan semurni-murninya. Yakni berdasarkan kultur keadaan kebangsaan, menuju keperluan rakyat dan negeri, dengan bersyarat sistem Perguruan, yakni dengan menghilangkan sifat sekolahan dan segala yang berhubungan dengan sistem itu.

Dengan memakai dasar-dasar sistem perguruan yang terpenting yaitu rumah guru dijadikan pawyatan (tempat belajar), sedangkan pengajarannya bersifat individual dengan membedakan murid yang satu dengan yang lain; menghidupkan nafsu belajar dengan merdeka, dengan memajukan nafsu belajar sendiri, meskipun anak-anak yang bekerja untuk pencaharian atau membantu orangtuanya, dapat kesempatan untuk belajar, dsb. 

Meruntuhkan sistem pendidikan kolonial memang sulit, harus ada persatuan di semua sendi. Pembentukan imaji sangat dibutuhkan untuk langkah awal. KHD menawarkan penggunaan-penggunaan istilah dalam sistem perguruan yang diambil dari jaman Hindu Jawa seperti istilah Taman Karti, Taman Siswa, ashrama, cantrik dll. Juga istilah jaman Islam seperti Taman Masyarakat, majelis, pondok, nafkah, dll. Hal itu bertujuan untuk membuktikan kepada pemerintah kolonial bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beradab. Sudah memiliki peradaban yang kuat. Lebih modern. Lain daripada itu, pemakaian istilah dengan menghidupkan perkataan-perkataan yang dulu sudah pernah terpakai ketika sebelum ada penjajahan, niscayalah akan dapat dengan mudah memutuskan pertalian-pertalian kolonial yang hingga kini seringkali mengikat di dalam penyusunan pengajaran dan pendidikan nasional.

Bila dikaitkan dengan kondisi saat ini, sisa-sisa kolonial masih mewujud dalam mental bangsa yang inferioritas. Hal ini mengakibatkan ukuran atau standar dalam menilai dan bersikap cenderung mengambil/meniru dari bangsa lain sehingga menghilangkan rasa bangga dan memiliki terhadap produk budaya bangsa sendiri. Itu soalnya.



24 Maret 2019